Dosa Fotografer
Terlalu mudah melabeli dan memberi identitas mungkin itulah yang terjadi pada dunia fotografi saat ini, dengan mudah orang melabeli semacam XXX Photografi atau XXX artwork, atau XXX nice picture, dsbnya. Padahal dengan hasil jepretan yang katakanlah “Maaf” belum baik (pendapat subjektif saya: saya juga belum menghasilkan gambar yg baik juga, dan saya juga bukan fotografer! lebih tepatnya belum . saya hanya suka fotografi).
Dan banyaknya karya foto yang paritas, bergelimpangan dijagat maya, yah seolah olah style foto hanya begitu begitu saja. Meskipun Arbain Rambey pernah mengatakan “Sesungguhnya tidak pernah ada foto yang sama sekali baru di dunia ini. Sebuah foto selalu merupakan sebuah hasil ”peniruan” dari foto-foto yang pernah dibuat sebelumnya.” (Kompas 23 Februari 2010). Namun di era digital dan mudahnya menggunakan software digital imagine, tonal atau style seorang fotografer dengan semakin mudah di tiru. Sehingga karya foto hanya terkesan itu itu saja.
Tuliasan dibawah ini mungkin merupakan wacana yang sama yang pernah ada dalam pikiran saya, saya ambil dari The light magazine. Semoga bisa menjadi koreksi atas diri saya dan kita semua.
Setahun sudah The Light terbit dan menggali seluk beluk fotografi Indonesia. 43 profesional fotografer sudah dihadirkan di sini dalam kolom profil dan puluhan fotografer lain yang telah menyumbangkan pikiran dan pendapatnya mengenai fotografi, fotografer dan perkembangannya di Indonesia melalui rubrik liputan utama ini.
Pengamatan dan penelusuran kami selama setahun belakangan ini rupanya membawa banyak pengalaman dan masukan berharga bagi dunia fotografi Indonesia. Berbagai macam “dosa” yang idealnya tidak dilakukan fotografer baik
mereka yang masih berada di tahap hobby maupun mereka yang sudah berada di kasta professional pun terungkap. Kami pun mencoba merangkumnya untuk anda. Bukan untuk menghakimi siapapun yang masih melakukannya, tapi lebih
kepada memberi masukan dan memotivasi anda untuk lepas dari “dosa-dosa” fotografer ini. Pada akhirnya segala sesuatu yang kami dramatisir dengan sebutan “dosa-dosa” ini masuk dalam kategori “dosa” hanya karena memiliki perbedaan dari apa yang kami sebut “ideal”. Namun tentu saja kami tidak pernah melarang anda untuk mengklarifikasikan dan hidup dalam kepercayaan “ideal” anda masing-masing.
TIDAK KONSISTEN MEMISAHKAN KESENANGAN DAN KUALITAS
Banyak fotografer amatir dan pehobi yang gemar ikut dalam sesi hunting bersama. Sepertinya tidak perlu diulang sekali lagi bahwa sesi hunting bersama tidak banyak memberi kesempatan untuk belajar. Hal ini karena
sifatnya yang masal, bersama-sama dan sangat membatasi eksplorasi ego pribadi. Namun sah-sah saja ketika sesi hunting bersama dilakukan untuk tujuan having fun dan bersosialisasi. Yang menjadi permasalahan adalah ketika
hasil hunting bersama dimasukkan sebagai portfolio pribadi dan digunakan untuk “jualan”. Jika proses pada acara hunting bersama tidak ada setting lighting yang spesifik dari si fotografer, tidak ada direction kepada model yang
spesifik, tidak ada treatment fotografi yang spesifik maka idealnya itu tidak bisa dijadikan “bahan jualan” karena merupakan karya beramai-ramai. Di sinilah idealnya kita perlu memisahkan mana foto yang memang dihasilkan
untuk tujuan having fun, mana foto yang layak dan boleh diakui sebagai portfolio pribadi karena mendapat treatment pribadi.
SALAH KAPRAH TERHADAP DATA TEKNIS
Entah siapa yang memulai, namun di beberapa media sering kali kita jumpai foto-foto yang dipajang dengan data
teknis berupa kamera yang dipakai, lensa yang dipakai, bukaan diafragma, speed, ISO, dll. Sejatinya data teknis ini digunakan untuk membantu menelaah proses terjadinya foto tersebut.
Namun sayangnya data teknis tersebut tidak berbicara banyak atau bahkan mungkin tidak berbicara sama sekali
dan malah cenderung menyesatkan. Sebagai contoh, ketika kita melihat sebuah foto pegunungan dengan data
teknis tertentu, apakah bisa disimpulkan bahwa kalau kita memotret pegunungan dengan data teknis yang persis sama seperti itu, kita akan mendapatkan hasil yang sama. Padahal bukaan diafragma, speed, ISO sangat berhubungan dengan kondisi pencahayaan di lokasi. Kondisi pencahayaan di lokasi di mana foto tersebut dibuat dan ketika kita ingin “meniru” foto tersebut pasti berbeda bahkan ketika dilakukan di jam yang sama. Ini belum mempertimbangkan titik pengambilan foto yang juga kemungkinan besar berbeda. Kesalah pahaman terhadap data ini menunjukkan betapa tidak
mengertinya kita terhadap dasar-dasar cara kerja kamera seperti hubungan diafragma dan kecepatan dengan kondisi
pencahayaan.
MENGHAPAL BUKAN MENGERTI
Di beberapa workshop dan seminar, serta di beberapa media kita juga bisa menemui lighting diagram dari sebuah foto. Lighting diagram diciptakan untuk proses pembelajaran di mana kita bisa mengetahui di mana lighting equipment diletakkan. Permasalahannya proses pembelajarannya tidak berhenti di situ. Lighting diagram memang untuk menunjukkan letak lampu dan asesoris yang digunakan.
Namun pembelajaran yang seharusnya dicerna adalah mengapa lighting equipmentnya diletakkan di situ, untuk apa? Dan apa yang mau dicapai dengan menggunakan lighting equipment itu di situ. Ketika hal ini dimengerti, maka anda pun tidak perlu menghapal lighting diagram, tidak perlu memotret set up lighting yang digunakan ketika workshop.
INVESTASI BERLEBIH YANG KURANG TEPAT & EFEKTIF
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pehobi fotografi bisa jauh lebih royal daripada professional fotografer. Tidak
sedikit dari mereka yang memiliki kamera canggih dan mahal, lighting equipment kelas satu, asesoris yang lengkap
mulai dari rangkaian filter, battery grip, dan photo viewer. Hak setiap orang untuk memilih dan memiliki gear masingmasing sesuai kemampuannya. Namun idealnya gear atau peralatan yang kita miliki harus dikonfrontasikan dengan kemampuan dan kebutuhan kita. Agak ganjil bagi kami untuk melihat peserta workshop fotografi yang memiliki digital back sementara pembicaranya hanya memiliki DSLR. Agak ganjil bagi kami melihat kamera DSLR yang tampil semakin gagah dengan penggunaan baterry grip padahal proses pemotretan sering dilakukan di dalam ruangan dengan waktu yang terbatas dan tidak mengharuskan penggunaan baterai lebih dari standar. Tidak ada yang salah memang, tapi mungkin investasi yang dilakukan bisa dialihkan untuk sesuatu yang lebih tepat.
JADI TUKANG PENCET SHUTTER RELEASE
Fotografer amatir mulai tertarik untuk masuk ke “kasta” professional dengan mulai menerima order pemotretan. Ini dilakukan semata-mata karena besaran rupiah yang dijanjikan. Bahkan dengan kemampuan penguasaan lighting equipment
yang minim pun mereka memberanikan diri untuk menjadi professional. Sayangnya jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan orang lain yang sudah lebih paham dan fasih mengenai lighting equipment untuk menata set up lightingnya dan hanya menyisakan tanggung jawab memencet shutter release kepada dirinya yang pada saat itu bergelar “fotografer”. Secara bisnis tidak ada yang salah dengan trik bisnis seperti ini karena memang seperti itulah bisnis. Namun secara fotografi agak janggal menyerahkan lighting set up kepada pihak lain yang lebih mengerti namun masih tetap berani dengan bangga menggelari diri dengan sebutan “fotografer”. Idealnya,fotografer adalah orang yang menjadi pusat ide dan pemikiran konsep tentang fotografi termasuk lighting dan komposisi. Mengenai pelaksanaannya akan dilakukan oleh seorang asisten lighting atau runner itu bukan masalah. Intinya pemikiran dan idenya harus berasal dari sang fotografer sebagai sang director.
PENGGUNAAN OLAH DIGITAL BERLEBIH
Olah digital memang diciptakan untuk tujuan penyempurnaan karya fotografi secara integrated. Olah digital juga
dibutuhkan untuk membuat sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh fotografi,atau setidaknya tidak dengan mudah dilakukan dengan fotografi. Sayangnya definisi ini sering disalah artikan dengan tetap menggunakan olah digital berlebihan pada foto yang sesharusnya bisa dilakukan dengan fotografi dengan alasan lebih mudah dilakukan
di photoshop. Pengertian lebih mudah dilakukan di photoshop atau di kamera memang selalu menjadi perdebatan
terutama jika yang memperdebatkannya adalah pihak-pihak yang memiliki kemampuan fotografi dan photoshop yang berbeda. Bagi mereka yang lebih hebat di photoshop, akan lebih mudah melakukan segala sesuatu di photoshop sehingga kecenderungan penggunaan olah digital sangat besar. Bagi mereka yang lebih hebat di fotografi, kecenderungan untuk melakukan segala sesuatunya dengan kamera akan lebih besar. Sayangnya tidak ada garis tegas pembatas antara mana yang seharusnya dilakukan di photoshop dan mana yang seharusnya dilakukan di kamera. Yang harus diingat, olah digital sekalipun mensyaratkan optimalisasi penggunaan kamera yang tepat. Artinya foto yang
akan di olah digital harus sempurna dan optimal di kamera sebelum masuk dapur olah digital.
KIBLAT NYASAR
Fotografi di Indonesia menjadi sesuatu yang sulit dipelajari ketika institusi pendidikan fotografi terbatas. Proses pembelajaran yang terencana dan sistematis menjadi sesuatu yag langka dan mahal. Akhirnya banyak pehobi fotografi yang harus memilih jalur otodidak untuk mempelajari fotografi. Mereka banyak belajar dari workshop, dari saling tukar pengalaman dan juga dari fotografer-fotografer yang lebih senior. Sayangnya akses ke kalangan fotografer senior yang mumpuni dan masih up to date pun sangat terbatas. Ini menyebabkan fotografer junior seakan-akan melihat fatamorgana. Mereka tidak bisa menemukan standar kualitas fotografi yang sesungguhnya karena tertutupnya pintu-pintu ke kalangan fotografer yang berkualitas. Akhirnya fotografer kelas menengahlah yang dijadikan sebagai benchmark. Beberapa bulan yang lalu kami terheran ketika mengetahui ketidaktahuan kalangan amatir mengenai siapa itu Nico Darmadjungen,Artli Ali, Gerard Adi, Heret Frasthio,Henky Christianto, Novijan Sanjaya dan Ajie Lubis. Mereka lebih mengenal fotografer-fotografer popular di komunitas tertentu walaupun sebenarya karya fotografinya masih di bawah nama-nama yang kami sebutkan di atas. Penyebabnya selain karena
minimnya akses ke kalangan fotografer professional yang berkualitas juga diperkuat dengan malasnya fotografer
amatir untuk mencari tahu siapa fotografer yang benar-benar berkualitas dan layak menjadi benchmark. Kesalahan
“kiblat” inilah yang mungkin bisa menjebak fotografer amatir terhadap pemahaman dan wawasan benchmark fotografi yang sebenar-benarnya. Bahkan sesungguhnya bagi mereka yang tidak pernah puas dan tidak pernah mau berhenti untuk berkembang nama-nama yang kami sebut di atas pun masih belum “ideal” untuk dijadikan kiblat, karena anda akan menemui banyak nama besar lain di luar sana yang rasanya lebih menarik lagi untuk dijadikan kiblat.
MENJIPLAK BUKAN TERINSPIRASI
Banyak fotografer menghalalkan menjiplak sebagai satu proses dalam belajar. Sebagai suatu awal dari proses pembelajaran hal ini memang tidak terlalu masalah. Namun ketika proses menjiplak masih dilakukan terus menerus dalam kurun waktu tertentu mungkin kita harus mulai mengevaluasi lagi tujuan kita melakukannya. Murahnya akses ke komunitas online yang memanjakan pehobi fotografi untuk bisa saling melihat dan memamerkan foto mereka Menghadirkan satu kesempatan yang sangat murah untuk terinspirasi dari foto orang lain.
Sayangnya banyak yang lebih banyak menjiplak daripada yang terinspirasi dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Bisa kita lihat betapa homogennya style dan karakter eksekusi foto yang bisa kita lihat di komunitas-komunitas
tertentu.
OBRAL JEPRETAN,OBRAL HARGA DIRI
Banyak fotografer yang senang sekali mengobral jepretan habis-habisan baik dalam rangka hunting bersama,pemotretan komersil, ataupun liputan jurnalis dan wedding. Permasalahannya adalah ketika dari sekian banyak foto yang dihasilkan dan memenuhi memory card anda, hanya sedikit yang “jadi”. Ini menunjukkan kurang percaya dirinya fotografer untuk mendapatkan hasil yang bagus sehingga berusaha “menembak” sebanyak-banyaknya.
Dan mungkin perilaku ini juga didasari oleh ketidakmampuannya memisahkan momen yang baik untuk dijepret dengan momen yang kurang baik untuk dijepret. Bagaikan seorang tentara yang terkepung di sarang musuh di malam yang gelap gulita, ia berusaha memberondong peluru ke segala arah dengan pertimbangan, “masak iya dari segitu banyak nggak ada yang kena?”.
Permasalahannya justru perilaku seperti inilah yang membuat anda semakin tidak dihargai lagi. Karena setiap jepretan anda dihargai. Untuk itu, akan lebih ideal jika kita mulai belajar memisahkan mana jepretan yang
memang perlu mana yang bukan, dan yang paling penting mempersempit selisih jumlah foto yang anda hasilkan
dan yang “jadi”.
BERUSAHA UNTUK MENANG, BUKAN UNTUK BAGUS
Di beberapa lomba foto seperti Salon-Foto dan lomba-lomba foto sejenisnya termasuk lomba foto yang diadakan di
acara-acara seperti pameran industri fotografi FOCUS yang baru lalu banyak sekali fotografer berusaha untuk Menang.
Seperti Oscar Motuloh pernah berkata, “jika tahun lalu pemenangnya foto dengan splash air, maka pasti tahun
ini peserta yang mengirimkan foto dengan splash air pasti banyak”. Sedikit banyak ini memang menggambarkan
betapa fotografer lomba lebih senang untuk menang daripada untuk menghasilkan foto yang bagus. Fotografer
muda nampaknya lebih senang memiliki setumpuk sertifikat dan piagam sebagai bukti menang lomba daripada memiliki setumpuk foto yang bagus yang bisa mendatangkan order memotret. Padahal ketika kita berusaha untuk menang, maka kemungkinan terburuknya anda tidak menang dan tidak mendapat foto yang bagus.
Sementara ketika anda berusaha untuk membuat foto bagus, kemungkinannya anda tidak menang tapi memiliki foto yang bagus.
MOTIVASI KURANG TEPAT
Pernah di bahas di edisi-edisi awal mengenai motivasi seorang pehobi fotografi dalam menekuni dan menghabiskan
uangnya untuk fotografi. Sayangnya justru motivasi yang tidak ideal yang masih mendominasi. Motivasi seperti ingin dekat dengan model, prestise akibat title “fotografer” masih sangat banyak penganutnya. Motivasi tentunya mengarahkan cara anda menghasilkan foto dan juga berpengaruh pada hasil yang didapat. Seperti pepatah you are what you eat, mungkin dalam kasus ini hal senada juga bisa berlaku pada kasus ini. Motivasi anda menentukan akan jadi fotografer macam anda kelak.
MEMBERI GELAR HONORIS CAUSA PADA DIRI SENDIRI
Tanpa bermaksud merendahkan dan melecehkan, kami sering agak tergelitik ketika menemui orang-orang berjalan dengan kaos bertuliskan nada-nada narcis membanggakan diri sebagai seorang fotorgafer. Stickersticker senada juga sering kita jumpai di bagian belakang mobil. Banyak fotografer muda yang lupa bahwa setiap title meninggalkan kewajiban selain juga memberikan hak. Ketika kita berani menggelari diri sebagai seorang fotografer, seolah-olah gengsi dan harga diri kita naik pesat. Namun di sisi lain hal itu tidak didapatkan secara gratis. Ada kewajiban dan beban yang harus dipenuhi sebagai bayaran gengsi yang kita beli tadi. Yaitu kemampuan berfotografi kita, hasil output fotografi kita yang juga harus sudah mencerminkan title yang kita gelari sendiri. Menyebut diri sebagai fotografer apalagi hingga memberi atribut jelas-jelas dengan kaos atau media sejenisnya sama saja memberikan gelar honoris causa pada diri sendiri. Sayangnya dengan menggunakan kaos yang melabeli diri sebagai fotografer tidak secara otomatis membuat anda menjadi fotografer.
Dengan menenteng kamera SLR yang tampak makin gagah dengan vertical grip dengan lensa panjang yang mahal tidak menjadikan anda fotografer. Jika banyak nara sumber kami yang terlalu panjang jika kami sebutkan satu-persatu
pernah berkata “jangan pernah mengaku karya anda adalah karya seni, biarkan orang lain yang menilai bukan
kita.” Maka hal yang sama juga berlaku di sini, akan lebih baik orang lain yang memanggil anda sebagai seorang
fotografer daripada menggelari diri sendiri dengan title fotografer. Kami berpendapat, justru atribut-atribut dan
pengakuan dan penggelaran terhadap diri sendiri lah yang menunjukkan betapa anda terobsesi menjadi gelar dan pengakuan yang anda berikan kepada diri sendiri. Pernahkah anda melihat Bill Gates, Warren Buffet dan banyak orang terkaya di dunia menggunakan atribut yang bertuliskan “saya orang paling kaya di dunia?” pernahkah anda melihat fotografer terkenal yang sudah terbukti kemampuan dan hasil karyanya menggunakan kaos “saya adalah seorang fotografer yang sangat terkenal”. Atau pernahkah anda melihat seorang presiden menggunakan kaos “saya seorang presiden”? Saya rasa tidak pernah. Yang membedakan orang kaya dan orang yang sangat ingin menjadi kaya tapi belum berhasil jadi kaya adalah pembuktian. Orang yang sungguh sudah kaya adalah mereka yang dikenal sebagai orang kaya
karena kekayaannya yang diakui dunia, mereka yang sangat amat ingin sekali menjadi sangat amat kaya tapi masih
belum menjadi kaya dikenal orang sebagai orang kaya melalui tulisan “saya adalah orang kaya” di kaosnya. Begitu
juga dengan fotografer. Jika anda ingin menjadi fotografer yang dikenal, biarkanlah foto anda yang melakukannya
untuk anda, bukan kaos anda. Seperti kata pepatah, mencari kesalahan jauh lebih mudah daripada mencari kebaikan. Untuk itu pulalah daftar dosa-dosa pehobi fotografi kami akhiri sampai di sini. Sekali lagi kami tekankan bahwa pengungkapan “dosadosa” ini bukan untuk menghakimi, menjelekkan atau menyudutkan pihak tertentu. Semua ini hanyalah sebuah cambukan yang sakit dan pahit tapi membangunkan kita semua dari zona nyaman kita. Semoga dengan mengetahui kekurangan kita, kita jadi makin bisa mengungkap kebaikan-kebaikan yang belum kita lakukan.
(Tulisan diatas merupakan Artikel yang terdapat pada majalah digital THE LIGHT MAGAZINE EDISI XI / 2008 hal 82-94)
Sumber : http://teguhalfi.wordpress.com
Comments
Post a Comment